Undang-undang nomor 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Legislatif mengamanatkan agar keberadaan perempuan di lembaga
legislative sekupang-kurangnya 30%.
Keberadaan undang-undang ini tentunya
memberikan Peluang seluas-luasnya kepada
perempuan untuk berpartisipasi di dunia politik. Namun peluang yang telah diberikan ini tidak
berbanding lurus dengan keberadaan perempuan di kursi legislative saat ini.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans
Lebu Raya mengatakan ini dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Wakil Bupati
Ende, Djafar Ahmad saat membuka kegiatan sosialisasi hak-hak politik perempuan
tingkat Kabupaten Ende di Aula
Rumah Makan Cita Rasa Jln. Kelimutu Rabu (15/04/15).
Menurut Gubernur Lebu Raya, data
menunjukan bahwa di bidang legislative hasil pemilu 2014 lalu dari 13
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) asal Pemilihan NTT
tidak satu kursipun diduduk perwakilan perempuan. Kondisi ini sama untuk anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Dari 4 orang anggota DPD keterwakilan
perempuan nihil. Untuk anggota DPRD Propinsi NTT dari 67 orang keterwakilan
perempuan 6 orang (8,59%). Anggota DPRD Kabupaten/kota di wilayah NTT dari 706
anggota keterwakilan perempuan hanya 62 orang (8,83%).
Sedangkan di bidang eksekutif kata
Leburaya, perempuan yang menduduki jabatan eselon II dari 53 jabatan hanya 5 orang (9,04%). Jabatan
eselon III dari 286 jabatan hanya 69 orang (24,1%) dan perempuan yang menduduki
jabatan Eselon IV sebanyak 236 orang
(23,68 %) dari 754 jabatan.
Keterlibatan perempuan di kursi
legislative hasil pemilu 2009 dan Tahun 2014 khusus wilayah Kabupaten Ende demikian
Lebu Raya, tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Data yang ada menyebutkan bahwa pada pemilu
tahun 2009 dari 30 kursi yang disediakan 27 kursi diduduki oleh laki-laki,
sisanya 3 kursi diduduki perempuan. Sementara untuk tahun 2014 mengalami
penurunan jumlah perempuan yang duduk di lembaga legislative yaitu hanya 1
orang dari 30 kursi yang ada.
Kurangnya keterwakilan perempuan di
bidang legislative maupun eksekutif menurut Leburaya diakibatkan beberapa
faktor seperti keterbatasan kualitas hidup perempuan, kurangnya pemahaman
mengenai hak-hak politik dan bahkan kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat
terhadap kemampuan perempuan di area politik maupun jabatan publik” memang
harus kita akui kurangnya pemahaman mengenai hak-hak politik perempuan dan
kurangnya dukungan keluarga dan masyarakatakan kemampuan perempuan di area
politik dan jabatan public menyebabkan kurang keterwakilan perempuan pada area
tersebut”ujarnya.
Menyikapi kondisi ini menurut
leburaya maka dipandang perlu melakukan usaha yang serius serta menyentuh akar
permasalahan yang ada seperti memberikan informasi dan edukasi tentang hak-hak
politik bagi perempuan potensial di wilayah Nusa tenggar Timur.
Margareta Telu salah seorang peserta
yang dikonfirmasi terkait kurangnya keterwakilan perempuan di lembaga
legislative maupun eksekutif secara gamblang mengatakan, kurangnya keterwakilan
perempuan pada dua lembaga tersebut lebih kepada factor perempuan itu sendiri
yang merasa kurang percaya untuk berkompetisi dengan kaum laki-laki. Padahal
ruang untuk menduduki jabatan-jabatan itu telah dibuka luas, tinggal bagaimana
kaum perempuan memanfaatkan peluang-peluang jabatan yang ada.(Humas
Pemkab Ende/Helen Mey (eln)